Nama saya M.Ressofi Kuswan, aku lahir di Bekasi tepatnya pada tanggal 19 November 1990. Aku anak bungsu dari 4 bersaudara, 2 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Ayahku bernama Sofwan Abdul Ghani, berasal dari kota Brebes. Dan ibuku bernama Kuswiyah, berasal dari kota Purwokerto. Kami tinggal sekarang di kota Bekasi, setelah sering pindah-pindah rumah sebelumnya di Jakarta.
Saat masih kecil aku sering diasuh oleh saudara ibu aku, karena ibu dan ayah saat itu sangatlah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mungkin karna aku jarang ketemu ibu saat aku masih balita, aku jarang mendapatkan asupan Asi dari ibu. Dan mulailah kebiasaan yang agak terbilang aneh, aku suka mengempeng jari jempol kananku. Tapi itu tidak berlangsung lama, aku tinggalkan kebiasaan itu saat duduk dibangku Sekolah Dasar.
Kata ibuku, aku terbilang anak yang paling lama didalam kandungan. Sebab kandungan yang biasanya itu tidaklah lebih dari 9 bulan. Tetapi aku memang terbilang cukup lama 13 bulan didalam kandungan seorang ibu. Ibuku sangatlah hebat, ia bisa menahan beratnya sebuah kandungan begitu lamanya. Jika dibawa kerumah sakit, mungkin ini akan dilakukan sikap siaga seperti disesar. Tetapi ibuku tidak ingin melakukan sesar, ia tetap berserah diri kepada Sang Ilahi Rabbi agar kandungan ini tetap normal walau lama sekali didalam perut seorang ibu. Dan alhamdulillah dengan karunia Allah, aku terlahir normal dengan wajah nan rupawan.
Saat berusia genap 6 tahun, aku memulai pendidikanku di SDN Pejuang I. Aku tidak memulainya dari Taman Kanak-Kanak. Karna mungkin saat itu dipikiran ibu aku, sama saja sekolah langsung SD atau tidak. Jadi ibu aku langsung memasukkan aku ke Sekolah Dasar. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, aku melanjutkan pendidikanku di pondok pesantren. Tepatnya di Pondok Modern Darussalam Gontor yang bertempat di Kota Ponorogo.
Aku mengemban pendidikanku di pondok pesantren selama 6 tahun lamanya, dan ditambah dengan pengabdianku selama 1 tahun. Dalam genap 6 tahun aku belajar dipesantren Gontor 1, aku sempat dipindahkan menjadi kader ke pondok cabang yaitu Gontor 5 Darul Muttaqien yang bertepat di Kota Banyuwangi Jawa Timur. Dan pengabdianku ditempatkan pula di Gontor 5 Darul Muttaqien.
Keinginanku saat masih duduk dibangku SD adalah memang ingin meneruskan dipondok, karena sudah teriming-imingi oleh ayahku yang menjabarkan bagaimana kehidupan di pondok pesantren. Setelah lulus SD aku mendaftarkan diri dipondok Gontor 2 menjadi calon pelajar. Disana aku dididik dan ribuan calon pelajar lalu akan diseleksi siapa sajakah yang pantas meneruskan menjadi kelas 1 dipondok Gontor 1 atau cabangnya.
Akhirnya setelah lulus ujian seleksi, aku ditempatkan dipondok Gontor 1 yang tidak jauh dari pondok Gontor 2. Aku duduk dikelas 1D dan tinggal diasrama Gedung Baru Shigor yang mana 1 kamar ditempati kira-kira 40 santri. Disana aku dididik tentang kedisiplinan oleh para pengurus yang mana masih duduk dikelas 5 KMI(Kulliyyatul Muallimiinal Islamiyah).
Aku mendapatkan banyak teman dari berbagai macam kota hingga luar negeri. Dan seterusnya aku lulus ke kelas 2 dan sudah menjadi anak lama dipondok Gontor tersebut. Semakin lama tinggal dipondok aku semakin terbiasa dengan lingkungannya nan damai. Walau banyak peraturan tapi asal kita jalani saja, semua terasa seperti biasa saja tanpa ada beban didalam hati.
Aku dulu sempat merasakan hukuman yaitu dibotak kepalanya karena telah memalsukan tanda tangan saat ingin piket kelas. Berawal dari kemalasan aku yang memang tidak ingin membersihkan kelas dipagi hari. Peraturannya adalah membersihkan kelas dengan menyapu dan lain-lain lalu setelahnya harus absensi karna akan ketahuan kelas manakah yang belum disapu. Tetapi aku tidak menyapu malah hanya absen saja, dan ternyata bagian pengajaran yang dikelola oleh para ustadz mengecek kelas disemua gedung dan mendapatkan kelas aku yang kotor tetapi sudah tertanda tangani. Akhirnya saat kelas dimulai, Ustadz KMI sudah menunggu kedatangan aku dikelas dengan membawa gunting. Dan aku pun datang ke kelas, tanpa basa-basi rambut aku dipotong acak-acakan ditempat dan disuruh untuk membotakkannya ditukang cukur. Dan rambutku sudah botak tanpa sehelai sedikit pun lalu menutup dengan sebuah peci/kopyah.
Saat duduk dikelas 4 aku pernah kabur dari pondok lantaran bujukan seorang teman yang berpura-pura mengalami sakit dalam dan ingin berobat dirumah agar dapat diurusi oleh keluarga. Dimulai pada hari jumat pagi, saya, Muhtarom dan Dira teman dekat yang tinggal didaerah bekasi juga ingin keluar pondok dihari libur ini. Setelah mencoba ijin keluar pondok kami tidak diijini lantaran asalan yang tak jelas mungkin. Tetapi akhirnya kita bertiga tetap berangkat tanpa ijin oleh Pengasuhan Santri. Kami bertiga jalan-jalan ke telaga ngebel yang masih bertempat didaerah Ponorogo. Sesampainya disana kami bersenang-senang dengan berenang di tempat jalannya air ke telaga. Udara di telaga memanglah begitu sejuk dan dingin, setelahnya berenang kami pun makan siang.
Dan hari semakin sore, sudah saatnya kita harus pulang ke pondok. Tetapi kita kehabisan uang saku dimana hanya tertinggal 21ribu rupiah dan tidak cukup untuk tiga orang pulang kembali lagi kepondok. Akhirnya kami memutuskan untuk si Dira saja yang pulang dan esoknya harus kembali dengan meminjam uang yang banyak agar kami berdua yang masih tinggal ditelaga bisa ikut pulang juga ke pondok lagi. Kami berdua memegang uang 10ribu dan 11ribunya dibawa Dira pulang ke pondok. Hari semakin malam dan udara begitu mencengkrang hingga masuk ke tulung rusuk yang paling dalam. Setelah menunaikan salat isya berjamaah disalah satu masjid dekat telaga, saya hendak mencari makanan untuk makan malam kita berdua. Dan turunlah hujan rintik-rintik sehingga membasahi tubuhku yang sudah sangat kedinginan ini. Aku menemukan mie ayam yang dekat saat kami makan tadi siang, dengan menggenggam uang 10ribu aku pun bertanya kepada bapak-bapak yang berjualan. Kataku : “ Pak, mie ayam berapa harganya”, lalu bapaknya menjawab : “ 2 ribu rupiah le”.
Aku pun terkegut begitu murahnya harga mie ayam disini, sangatlah beda dengan harga mie ayam didaerah Jakarta dan sekitarnya. Memang harga dijawa begitu murah ketimbang harga-harga di Ibu kota yang begitu meninggi. Dengan muka yang begitu senang karna harga mie ayamnya murah aku pun langsung mengasih uangku, lalu tiba-tiba bapak penjualnya menggenggam bajuku yang basah dan berkata : “ Kamu tinggal dimana le?”, aku pun menjawab : “ Tinggal dimasjid seberang pak”. Dan kemudian bapak tersebut memperbolehkan aku tinggal diwarung rumahnya saja dan menyuruh aku memanggil teman aku si Muhtarom untuk datang ke tempat mie ayam tersebut.
Dengan rasa senang aku pun berjalan cepat menuju masjid dan memberitahukan Muhtarom untuk bermalam di warung bapak tersebut. Saat ingin beristirahat, kami dibekali 2 selimut setiap orangnya. Dan saat kita pakai 2 selimut tersebut, tetap saja dinginnya malam yang menyelimuti telaga begitu terasa walaupun kami berdua sudah memakai 2 selimut. Dan keesokan harinya kami dibangunkan untuk salat subuh, kami bangun jam 6 pagi tapi hari tetap saja masih gelap dan dingin saat kami ambil air wudlu. Aku tidak sanggup dengan dinginnya air disini tetapi mengapa warga disini biasa-biasa saja dengan kedinginan ini, mungkin karna mereka sudah terbiasa oleh lingkungan sekitar sini.
Dan akhirnya Dira pun datang kurang lebih jam 9 pagi, tetapi anehnya dia tidak membawa uang banyak lantaran belum dapat pinjaman banyak dari teman. Dengan terpaksanya kami pun nekat pulang dengan uang seadanya. Kami naik angkot dan tiba diterminal kami berjalan, kadang mengumpat saat kami melihat mobil pondok lewat. Dan kabar baiknya Muhtarom mempunyai satu kenalan di Ponorogo, akhirnya ia meminjam sepeda motor untuk memulangkan kita kembali ke pondok.
--- PAK SASTRO ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar